Senin, 05 Oktober 2009

Gertrude B. Elion: Biokimiawati penemu obat penyembuh leukemia

Ditulis oleh Yulianto Mohsin pada 03-09-2004

Di dalam kantornya yang kecil dan sedikit berantakan, ada beberapa map yang Gertrude Belle Elion simpan dengan baik. Di dalamnya ada surat-surat berisikan cerita-cerita yang menyentuh hati:

Yth. Doktor Elion:
Terima kasih! Berkat kerja keras Anda, dedikasi Anda yang sangat tinggi, obat penyembuh penyakit reticulum cell sarcoma anak saya berhasil ditemukan ketika dia berumur 15 tahun. Setelah menjalani operasi cobaan yang menemukan tumor besar di dalam dan di luar perutnya dan juga di kandung kencing serta tumor-tumor kecil lainnya di sekitar perut, dia diramalkan akan meninggal. Tumor-tumornya tidak pernah diambil dengan cara operasi, tapi ia menjalani terapi 6-mercaptopurine dan prednisone dengan radiasi yang banyak. Sekarang, 17 tahun kemudian, dia sudah bahagia menikah dan menjadi seorang kimiawan. Saya selalu menanyakan ke Yang Maha Kuasa untuk memberikan bimbingan dan inspirasi kepada para periset dalam kerja mereka. Sekarang saya tahu untuk siapa saya berdoa.

Dengan tulus,
Ibunya Jim

Yth Ibu Elion:
Ketika sedang membaca artikel mengenai hadiah Nobel Anda, saya diliputi perasaan takjub bukan main. Anak lelaki kecil saya dua tahun lalu didiagnosis mengidap penyakit lymphocytic leukemia. Sejak saat itu, dia meminum dua pil 6-mercaptopurine setiap malam. Di lingkungan keluarga kami, obat tersebut dikenal dengan nama 6-MP. Kami sudah lama bertanya-tanya siapa yang menemukan obat ini. Sekarang kami tahu. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga atas kontribusi Anda yang telah membantu menyelamatkan satu nyawa manusia yang sangat dekat dengan saya. Untuk itu, izinkan saya menyampaikan ungkapan rasa syukur paling mendalam dan yang paling tulus, terima kasih!

Rabbi P.

Gertrude Elion - Trudy seperti yang dipanggil oleh kawan-kawannya - menyimpan surat-surat seperti ini karena isinya sangat menggembirakan hatinya. Untuk Trudy Elion, biokimia bukanlah ilmu pengetahuan abstrak. Tekadnya untuk menyembuhkan penyakit selalu mendapat inspirasi dari orang-orang biasa. Menemukan obat-obat bukan hanya merupakan karir bagi Trudy Elion, tapi merupakan misinya di dalam hidup.

Elion adalah figur yang unik di riset obat-obatan. Dia adalah salah satu ilmuwan di industri dan salah satu penerima hadiah Nobel di bidang sains yang tidak memiliki gelar S3. Risetnya merevolusi ilmu kedokteran dan cara pembuatan obat. Dia berhasil membuat transplantasi organ berhasil. Obat-obatnya membantu mentransformasi penyakit leukemia pada anak kecil dari suatu penyakit yang fatal menjadi penyakit yang 80% pengidapnya sembuh. Dia juga mengembangkan obat untuk herpes dan nyeri sendi, yang bisa berakibat fatal bagi pasien kemoterapi. Dia pula yang mengembangkan obat pertama yang menyerang virus-virus HIV. Risetnya memberikan fondasi untuk AZT, obat yang selama beberapa tahun adalah obat satu-satunya yang disetujui Federal Drug Administration (lembaga administrasi obat-obatan AS) untuk mengatasi pasien-pasien AIDS.

Yang lebih penting lagi selain menemukan obat-obat ini, Elion membantu cara baru penemuan obat-obatan. Ketimbang memakai metode uji coba (trial and error), dia dan kolaboratornya George Hitchings mempelajari perbedaan-perbedaan yang sangat susah dideteksi antara bagaimana sel-sel normal dan sel-sel abnormal bereproduksi. Dengan cara ini, mereka mengembangkan obat-obatan yang bisa menginterupsi siklus kehidupan sel-sel abnormal tanpa merusak sel-sel yang normal.

Masa mudanya, Trudy seorang gadis pemalu dan kutu buku yang memiliki rasa keingintahuan yang amat besar terhadap ilmu pengetahuan. “Tidak peduli apakah itu sejarah, bahasa, atau sains. Saya menyerap semuanya.” Idola-idola dia antara lain Louis Pasteur dan Marie Curie - “orang-orang yang menemukan sesuatu” - dan dia juga senang melahap buku-buku sains popular seperti Microbe Hunters karangan Paul de Kruif.

Trudy kuliah di Hunter College, kala itu sekolah khusus wanita bagian dari perguruan tinggi City College of New York. Kompetisi untuk masuk sangat besar, tapi beruntung nilai-nilainya sangat tinggi. Untungnya lagi, dia tidak perlu membayar sepeser pun. Lulus tahun 1937, Trudy Elion mendaftar ke 15 program pasca sarjana tetapi tidak mendapatkannya satu pun. Kelak di kemudian hari, dia sadar bahwa dia mengalami pendiskriminasian karena dia seorang wanita.

Karena tidak dapat melanjutkan pendidikannya, Trudy bekerja serabutan dan apa adanya. Setelah mengambil kursus sekretaris selama 6 minggu, dia sempat bekerja mengajar biokimia ke para calon perawat selama tiga bulan. Dia juga pernah bekerja di laboratorium seorang kimiawan secara gratis untuk belajar. Dengan uang hasil kerjanya, Trudy berhasil menyisihkan biaya satu tahun kuliah S2 di New York University. Untuk membiayai hidup, dia bekerja sebagai resepsionis di klinik seorang dokter. Sempat pula dia bekerja sebagai tenaga pengajar pengganti di sekolah-sekolah menengah umum di kota New York. Malam hari dan akhir pekan, waktunya dihabiskan untuk menyelesaikan pendidikan lanjutannya.

Melalui kenalan bapaknya, akhirnya Trudy mendapat kesempatan melamar kerja di perusahaan farmasi Burroughs Wellcome (BW). George Hitchings, kimiawan yang mewawancarai dan menerima Trudy, di kemudian hari menjadi pembimbingnya dan salah satu orang-orang terdekat Trudy.

Sebagai seorang ahli asam nukleat (nucleic acid) lulusan Universitas Harvard, Hitchings tidak menyukai cara tradisional (trial-error) untuk menemukan obat. Dia menginginkan suatu pendekatan rasional yang berbasiskan pengetahuan akan pertumbuhan sel-sel. Semua sel-sel memerlukan asam nukleat untuk berkembang biak, tetapi sel-sel bakteri, tumor dan protozoa memerlukan jumlah yang banyak untuk menunjang perkembangan mereka yang cepat. Hitchings menghipotesis, sel-sel ganas ini berarti sangat rawan terhadap ganguan pada siklus hidup mereka.

Di tahun 1950, setelah lebih kurang 6 tahun bekerja di BW, Trudy berhasil mensintesis dua obat kanker. Yang pertama adalah senyawa purine yang menghalang pembentukan sel-sel leukemia. Ketika diuji coba pada hewan, obat ini bekerja dengan sangat cemerlang. Rumah sakit Sloan-Kettering Memorial mencobanya kepada dua pasien leukemia. Salah satunya adalah seorang wanita bernama J.B. Selama 2 tahun J.B. menunjukkan kondisi yang membaik sehingga para dokter menyetop pemberian obat. Dia bahkan menikah dan melahirkan seorang anak. Tetapi kemudian penyakitnya kambuh lagi dan meninggal dunia.

Peristiwa ini memberikan dampak emosional terhadap Trudy. “Kami melihat keringanan penyakit yang memberikan rasa suka cita, tapi kemudian penyakitnya kambuh lagi.” Hal ini memacu Trudy untuk mempelajari biokimia senyawa tersebut untuk lebih mengerti cara kerjanya. Pada akhirnya dia berhasil membuat dan menguji coba lebih dari 100 senyawa purine. Salah satunya, adalah senyawa 6-mercaptopurine (6- MP), di mana dia menggantikan atom oksigen dengan atom sulfur.

Uji coba obat ini pada tikus-tikus yang memiliki tumor menunjukkan hasil yang baik. Bukan saja tumor-tumor tersebut tidak bertumbuh, tetapi juga tikus-tikus ini bisa hidup dua kali lebih lama dibanding tikus-tikus lain yang tidak disembuhkan dengan 6-MP. Ketika obat ini diketahui dapat menyembukan pasien leukemia, FDA langsung memberikan ijin untuk mengkomersialkannya dengan nama Purinethol.

Dengan sendirinya, 6-MP tidak dapat menyembuhkan leukemia. Tetapi kombinasi obat ini dengan terapi kanker lainnya, termasuk pemberian thioguanine (senyawa yang Trudy juga sintesis) dan beberapa obat lainnya dapat membuat pengidap penyakit ini mengalami pembaikan. Setelah itu, selama beberapa tahun terapi sekitar 80% pasien dapat tersembuhkan.

Melihat para pasien leukemia yang membaik karena obat temuannya, terutama anak-anak, Elion berujar, “Kebahagiaan apa lagi yang lebih indah selain melihat hasil kerja Anda memiliki efek yang besar terhadap hidup orang-orang? Kami mendapat surat-surat dari berbagai orang, dari anak-anak pengidap penyakit leukemia. Anda tidak dapat mengalahkan perasaan yang didapatkan dari anak-anak itu.”

“Ini seperti menjadi dokter secara tidak langsung, Anda melakukan sesuatu terhadap orang-orang itu.” Trudy menjelaskan lebih lanjut. “Yang menjadi penengah itu para dokter, tapi perasaan gembira itu saya yang lebih merasakan karena saya tahu saya memberikan alatnya. Jadi ketika ada hadiah Nobel, semua orang menanyakan, ‘Bagaimana perasaan Anda menerima hadiah Nobel?’ Dan saya katakan, ‘Sangat senang, tetapi ini bukan berarti segalanya.’ Saya tidak mengecilkan nilai hadiah tersebut. Hadiah Nobel telah berlaku banyak untuk saya, tapi kalaupun tidak menerimanya, tidak akan ada bedanya bagi saya.” Upah hasil kerja kerasnya adalah menyembuhkan pasien-pasien.

Diterjemahkan dan disadur dari:
“Gertrude B. Elion”, Nobel Prize Women in Science oleh Sharon B. McGrayne

http://www.chem-is-try.org

Fenomena Leukemia

Di Belanda setiap tahun sebanyak 120 anak didiagnosa menderita leukemia. Dengan demikian leukemia menjadi penyakit kanker nomor satu pada usia belia.

Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah yang banyak diderita anak maupun dewasa. Ada beberapa jenis leukemia. Leukemia lymphoblastic akut banyak diderita anak, sementara leukemia myeloid blastic akut lebih banyak diderita orang dewasa.

Leukemia paling sering melanda anak-anak antara usia empat sampai lima tahun dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki ketimbang perempuan. Di Belanda, 80 persen anak-anak penderita leukemia limphoblastic akut bisa disembuhkan.

Penyebab belum jelas
Sampai sekarang penyebab leukemia belum jelas dan masih terbatas pada hipotesis-hipotesis yang ada, apakah disebabkan radiologi, insektisida, atau makanan instan misalnya.

“Tapi yang sangat menarik,” ujar Edi Supriadi, “adalah bahwa kenaikan penyakit leukemia di Amerika, sebanyak satu persen per tahun. Itu luar biasa banyak,” kata Edi. Edi sedang berada di Belanda dalam rangka menulis disertasi tentang leukemia dari aspek epidemiologi dan diagnosisnya.

“Coba bayangkan kalau satu persen per tahun, kemudian sepuluh tahun berapa? Sepuluh persen naiknya.”

Apa sebenarnya gejala dan tanda penderita leukemia pada anak?

“Gejalanya sebenarnya tidak begitu khas. Anak biasanya demam-demam ringan, sakit sendi, sakit pada otot-otot, kemudian berangsur-angsur pucat. Kemudian ada suatu kondisi di mana perutnya lebih besar karena ada pembesaran hepar atau hati dan limfa di situ.”

Leukemia kemudian bisa dideteksi dari hasil pemeriksaan darah di laboratorium, kata Edi.

Makanan perlu diperhatikan
Di Yogyakarta, kata Edi, dibangun gedung perawatan anak-anak dengan kanker, terutama leukemia. Memang di Jakarta sudah ada, yakni rumah sakit Dharmais, tapi itu lebih untuk penderita kanker secara umum.

Edi menganjurkan agar penjenguk penderita leukemia di rumah sakit juga memperhatikan makanan yang dibawa.

“Kita harus hati-hati supaya jangan sampai makanan itu terkontaminasi. Di budaya kita orang suka membawa makanan dari rumah atau jajan di luar kemudian dibawa ke rumah sakit, itu mereka lebih senang daripada makanan yang disediakan rumah sakit sendiri.”

Padahal makanan rumah sakit itu terkontrol. Sedangkan makanan dari luar tidak diketahui proses masaknya.

“Pemasakan kita nggak tahu. Proses transportasi dari warung ke rumah sakit, kita nggak tahu, apakah terkontaminasi. Padahal anak-anak yang sedang dirawat dengan penyakit kanker atau leukemia terutama itu, dalam kondisi di mana sistem ketahanan tubuhnya sangat lemah.”

Leukemia bisa disembuhkan, kata Edi. Tapi angka kesembuhan bervariasi.

“Di negara-negara yang sudah maju, angka kesembuhan pada akut limfoblastik leukemia ini kira-kira 80 sampai 90 persen, bahkan ada yang 94-95 persen. Tetapi di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, problem tersendiri. Kita baru mencapai 30-40 persen.”

Merawat anak-anak penderita leukemia membutuhkan suatu perawatan pendukung yang bagus.

“Dengan mengontrol supaya jangan terjadi infeksi. Bagaimana dia nutrisinya sendiri. Itu adalah problem tersendiri bagi negara sedang berkembang.”

Perawatan kunci utama
Perawatan menjadi kunci utama di samping kemoterapi, kata Edi. Selain itu si pasien perlu banyak beristirahat, yang, kalau melihat budaya di Indonesia, bisa dikatakan hampir mustahil.

“Budaya kita di Indonesia bahwa seorang anak dikunjungi oleh lebih dari satu orang, misalnya bapak dan ibu. Dan yang berkunjung biasanya berduyun-duyun satu RT satu kampung datang ke situ. Itu yang sebenarnya kita harus waspadai benar. Karena dalam kondisi daya tahan minimal, dia akan sangat rentan dan orang yang keluar masuk tanpa cuci tangan akan mudah menularkan bakteri yang dia bawa.”
Edi Supriadi berharap disertasinya sudah bisa selesai tahun 2011 dan bisa bermanfaat bagi pihak kedokteran dan peneliti di Indonesia.

“Saya kira kita harus memotret, terutama untuk mengobati suatu masalah, kita harus tahu permasalahannya dulu. Itu yang saya lakukan, memotret kondisi leukemia di Indonesia.”

http://www.rnw.nl

Terapi Leukemia, Dari Kemoterapi Hingga Era Stem Cell Therapy

Leukemia adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi yaitu jenis pengobatan dengan menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu atau kombinasi dari dua obat atau lebih. Pada jenis penyakit leukemia tertentu dilakukan terapi biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, menggunakan terapi biologi jenis antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia. Jalan terapi selanjutnya dapat dilakukan melalui radioterapi dengan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sebuah mesin besar mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. Iradiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.

Terobosan terbaru adalah transplantasi sel induk / sel tunas (stem cell). Contoh penggunaan terapi stem cell yang sudah sering didengar adalah tranplantasi sumsum tulang untuk penderita keganasan hematologis seperti leukemia maupun kelainan genetik seperti thalassemia. Kesulitan cara ini adalah pemenuhan syarat mutlak kecocokan HLA (Human Leucocyte Antigent) 100% antara donor dan resipien (penerima). Di samping stem cell dari sumsum tulang, diusahakan pula stem cell dari darah tepi dengan teknik penyaringan tertentu.

Sumber utama stem cell dalam tubuh tampaknya bukan sumsum tulang, melainkan cairan ari-ari (umbilical cord blood). Perkembangan sumber stem cell mencapai ke arah yang lebih baik yaitu dari darah tali pusat. Stem cell dari darah tali pusat cenderung lebih baik, karena lebih “murni” dari perubahan ciri genetik daripada setelah tumbuh dewasa. Perubahan genetik tersebut bisa terjadi oleh pengaruh infeksi ataupun faktor lingkungan (misalnya radiasi). Sel tunas pada ari-ari lebih segar, lebih plastis, dan lebih aktif ketimbang sel tunas dari sumber lain. Meskipun demikian, sel terbaik untuk dijadikan sumber stem cell adalah sel embrionik manusia, yang muncul pada embrio bayi yang berumur sekitar 7 hari. Sel ini merupakan sel-sel blastosit yang paling gesit. Namun, sampai saat ini, pengambilan sel tunas dari sumber ini masih menjadi kontroversi karena hal tersebut sama dengan membunuh sang janin.

Pada umumnya, Stem cell terletak di area tersembunyi yang kurang oksigen pada sumsum tulang. Sel-sel ini muncul ketika tubuh mengalami luka, menuju ke dalam sel otak ketika terjadi stroke, menyelinap ke sel darah merah ketika nyeri akibat leukemia muncul, dan seterusnya. Salah satu kelebihan sel tunas ini yaitu meski disuntik ke berbagai pembuluh darah, ia tak pernah lupa jalan pulang ke sel awalnya (sel yang mengalami cedera). Darah tali pusat juga belum mengandung sel-sel imun yang relatif matur, sehingga reaksi penolakan imunologis lebih rendah. Dengan demikian, darah tali pusat bisa ditransplantasikan ke pasien lain tanpa harus mendapatkan kecocokan HLA 100%. Kecocokan sekitar 60% sudah mampu mencegah reaksi penolakan. Dalam perkembangannya, tentu bukan hanya penyakit darah yang diharapkan bisa diatasi dengan terapi stem cell.

http://id.wikipedia.org/wiki/Leukemia